Pendidikan Humaniora Jadi Prioritas Kerajaan Mataram Kuno sejak Didirikan di Temanggung

3126

Baca juga: Melihat Peluang Ketahanan Pangan dari Modal dan Potensi Terkini Hutan Indonesia

Kepergian Rakai Pikatan pada 855 memunculkan sosok pemimpin baru setahun berselang. Dialah Rakai Kayuwangi yang bergelar Prabu Dyah Lokapala.

Kata Purwadi, loka berarti tempat, pala bermakna buah. Sehingga, apa saja akan berbuah kebaikan di tempat sang Prabu Dyah Lokapala.

Rakai Kayuwangi ibarat pohon kayu cendana yang harum, semerbak mewangi ke kanan dan ke kiri. Kiprah Rakai Kayuwangi tercatat dalam prasasti Wuatan Tija (880).

Sebagai seorang raja, Rakai Kayuwangi sadar punya tugas untuk memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi warga negara Temanggung.

“Raja harus mau berkorban demi rakyatnya. Merasakan kenikmatan setelah rakyatnya berbahagia. Ulat patrap lan pangucap untuk ibu pertiwi,” tutur Purwadi.

Baca juga: KPH Notonegoro: Tarian Bukan Sekadar Pola Lantai dan Koreografi

“Hal demikian diucapkan Kanjeng Sinuwun Rakai Kayuwangi saat memberi pengarahan di Pesanggrahan Gunung Telamaya pada 857. Beliau raja yang menjunjung tinggi etika berbudi bawa laksana,” terangnya.

Selang 882-899, Mataram punya raja anyar yakni Rakai Watu Humalang. Awalnya, sang raja belum punya keluhuran budi.

Namun, sang raja tak kenal lelah membicarakan ilmu. Hanya saja, saat punya kemahiran tertentu, Watu Humalang enggan menampakkannya kepada orang lain.

Asalkan kemahiran itu bisa memberi manfaat kepada orang lain, dia sudah merasa cukup.

“Rakai Watuhumalang dalam melaksanakan jalannya pemerintahan selalu berprinsip pada tri parama arta.

“Artinya tiga macam perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain (mengasihi, memberi, berbakti). Begitu sang raja memberi wulangan, wejangan, dan wedharan,” pungkasnya. (Ts/-Th)

Baca juga: Sumbangsih Pemikiran Warga KAGAMA untuk Wujudkan Indonesia 4.0 pada Aspek Keberlanjutan dan Energi