Pandemi Covid-19 Jadi Momentum Manusia untuk Kembali ke Fitrahnya

531

Baca juga: Lulusan Magister HI UGM Ini Pilih Bangun Pendidikan di Timor-Leste ketimbang Jadi Staf Kedutaan

Dalam era ini, masyarakat sulit membedakan antara berita faktual dan berita palsu.

Setelah covid-19 merebak di seluruh dunia, berdasarkan sejarahnya sebagian orang sering menyebut pandemi ini sebagai siklus 100 tahunan. Namun, anggapan ini perlu ditelusuri lebih lanjut.

“Ada beberapa catatan yang menyajikan fakta. Misalnya pada tahun 1970 ada wabah di Marseille, Prancis, yang kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya hingga memakan ratusan ribu korban.”

“Lalu di tahun 1820, muncul kolera asiatik. Wabah ini diawali dari orang-orang yang meminum air sungai Gangga yang dianggap suci oleh orang Hindu.”

“Namun, ternyata setelah melalui uji ilmiah air sungai sudah terkontaminasi bakteri. Wabah tersebut menyebar ke seluruh Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Timur, bahkan sampai Pantai Timur Mediterrania,” jelasnya.

Baca juga: Melihat Peluang Ketahanan Pangan dari Modal dan Potensi Terkini Hutan Indonesia

Kemudian pada 1920, muncul Flu Spanyol. Tercatat sebanyak 500 juta penduduk di dunia terinfeksi.

Selanjutnya, tiba-tiba pada tahun 2019, muncul covid-19 yang pertama kali muncul di kota Wuhan, Tiongkok. Virus menular dengan cepat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Selama hampir satu tahun, dunia ini dilanda covid-19. Dari situasi ini, kata Charris, semua orang menyadari bahwa, pandemi sekarang tidak lagi berkaitan dengan persoalan kesehatan manusia.

Tetapi, akhirnya juga bersentuhan dengan berbagai masalah kemanusiaan secara luas.Mulai dari sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan moralitas dan agama.

“Respon masyarakat atas perubahan di abad pertengahan, hingga munculnya positivisme, liberalisme, kapitalisme, dan modernisme. Secara langsung atau tidak langsung, zaman cenderung menuju ke paham antroposentrisme, sekularisme, dan materialisme. Paham-paham tersebut cenderung mengarahkan manusia untuk menjadi penguasa tunggal, eksploitatif, bahkan jumawa.”

Baca juga: KPH Notonegoro: Tarian Bukan Sekadar Pola Lantai dan Koreografi