Kata Diaspora KAGAMA: Warga Prancis Rela Tinggalkan Budaya Ramah Tamah Secara Fisik Demi Cegah Penularan Covid-19

516
Kandidat Doktor University of Poitiers, Prancis, Sandya Rani Yunita bercerita tentang penanganan Covid-19 di Prancis. Foto: Ist
Kandidat Doktor University of Poitiers, Prancis, Sandya Rani Yunita bercerita tentang penanganan Covid-19 di Prancis. Foto: Ist

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Kasus positif Covid-19 pertama kali muncul di Prancis pada 27 Desember 2019. Namun, kasus tersebut baru terdaftar pada akhir Januari 2020.

Kandidat Doktor University of Poitiers, Prancis, Sandya Rani Yunita mengungkapkan bahwa budaya akrab atau ramah tamah secara fisik dengan sesama sangat kuat di kalangan masyarakat Prancis, sehingga menerapkan physical distancing menjadi tantangan.

Pemerintah lantas tidak tinggal diam, mereka kemudian menerapkan kebijakan pembatasan sosial yang lebih ketat yaitu dengan himbauan stay at home.

Aktivitas di luar rumah tetap diperbolehkan, tetapi ada syarat ketat yang harus dibatuhi. Bahkan, kata Sandya, untuk berbelanja kebutuhan pokok saja, masyarakat harus memiliki surat izin dari pemerintah terlebih dahulu.

“Sama seperti negara lain, kehidupan berubah menjadi serba virtual. Lalu pada 15 Maret-15 Mei 2020, pemerintah memutuskan untuk lockdown. Saat masa lockdown berakhir, pembukaan aktivitas masyarakat dilakukan secara bertahap.”

Baca juga: Bagi Ketua KAGAMA Pertanian, Uang Bukanlah Modal Utama Berwirausaha

“Mula-mula pemerintah membuka sekolah jenjang TK dan SD, seminggu kemudian SMP dan SMA. Sedangkan perguruan tinggi baru buka di tahun ajaran baru bulan September.”

“Itu pun tidak semua siswa bisa masuk, ada pembatasan jumlah siswa 10-20 orang dengan catatan orang tua anak yang harus masuk sekolah memang tidak bisa stay at home untuk mendampingi anak,” ungkapnya.

Hal tersebut Sandya sampaikan dalam webinar series, bertajuk Hidup Di Bawah Wabah: Polemik Normal Baru, yang digelar oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM beberapa waktu lalu.

Deteksi Covid-19 merupakan program prioritas pemerintah Prancis pada saat itu. Pemeriksaan ini, kata Sandya, berlangsung selama seminggu di masa-masa awal adaptasi kebiasaan baru.

Harapannya program detaksi ini bisa memeriksa 700.000 orang dalam seminggu. Tetapi, hal tersebut belum dicapai pemerintah hingga saat ini.

Baca juga: Akhir Tahun Ini, Indonesia Bisa Punya Akses 30 Juta Vaksin