Dubes Wahid Temui Orang Banyumas di Rusia yang Belum Pernah Pulang ke Indonesia

837

Baca juga: Begini Kiprah Alumnus Filsafat UGM yang Berkarier di Dunia Sepak Bola

“Sekitar 1.000 yang benar-benar mahasiwa. Sebagian besar mereka belajar teknik permesinan, kedirgantaraan, nuklir, teknologi nano dan lain-lain. Selebihnya ada yang belajar hukum, ekonomi dan sastra,” lanjutnya.

Kepada para eks Mahid, Dubes Wahid bertanya apakah mereka mendapat mata kuliah ideologi komunis (indoktrinasi) selama belajar di Uni Soviet.

Ternyata, mereka semua kompak menjawab tidak ada. Mereka mengatakan, ideologi itu hanya untuk orang lokal sampai tingkat SMA.

Sementara itu, para pendatang dari Indonesia hanya belajar terkait bidang ilmunya.

Keberadaan Sartoyo dan eks Mahid lain yang menetap di Rusia tidak lepas dari kondisi Indonesia. Waktu itu, Indonesia memang sedang kacau.

Baca juga: Ketua KAGAMAHUT Semangat ‘Ngumpulke Balung Pisah’ Berkat Kuatnya Jiwa Korsa Rimbawan

“Mereka takut pulang karena banyak yang langsung dipenjara dan bahkan terbunuh. Mereka menolak disebut komunis, dan kebanyakan mengaku sebagai Sukarnois,” tutur Dubes Wahid.

“Akibat dari itu, mereka kehilangan kewarganegaranya (stateless) dan tidak boleh bepergian sejauh lebih dari 30 km,” jelas pria asal Kebumen itu.

Dubes Wahid melanjutkan, mahasiswa ikatan dinas itu juga tidak berani menulis surat kepada keluarganya di Indonesia. khawatir bisa memperburuk kondisi mereka.

Praktis hubungan mereka terputus selama 30-an tahun dengan Indonesia. Kata Dubes Wahid, ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI, sebagian besar dari mereka melarikan diri ke negara-negara Barat.

Terbanyak di Belanda, tapi ada juga di negara Eropa Timur seperti Chekoslovakia, Romania, Hongaria dan lain-lain.

Baca juga: Jelang Idul Adha, Kemenhub Lepas Kapal Ternak dengan Rute Baru untuk Dukung Swasembada Pangan