In Memoriam Didi Kempot, Juga Semua yang Telah Mendahului Kita

651
Sebuah refleksi filosofis dari Ketua KAGAMA Filsafat, Achmad Charris Zubair tentang wafatnya Didi Kempot. Foto: Maulana
Sebuah refleksi filosofis dari Ketua KAGAMA Filsafat, Achmad Charris Zubair tentang wafatnya Didi Kempot. Foto: Maulana

Oleh Achmad Charris Zubair*

BULAKSUMUR – Sebagai seorang pelajar ilmu Filsafat di UGM, saya diajari oleh guru saya Rama Anton Bakker SJ, ungkapan dalam bahasa latin: “Contra vim mortis non est medicamen in hortis” yang artinya kira kira “Tidak ada obat yang bisa kita ketemukan di kebun kebun untuk mencegah datangnya sang maut”.

Maut seolah pencuri yang menyelinap dan tiba-tiba saja merenggut hal yang paling “bernilai” dalam hidup, yakni nyawa orang-orang yang kita sayangi bahkan juga kita sendiri. Kemudian seolah-olah hidup terhenti, berakhir dan masa lampau seperti mimpi.

Socrates pun pernah mengungkapkan pernyataan yang “eksistensial”, yang juga menjadi inti jawaban dari semua agama yang dianut siapapun. Quo vadis setelah hadirnya sang maut?

Baca juga: Pesan Terakhir Didi Kempot kepada UGM

“Ketika kujalani kehidupan, kujumpai kenyataan bahwa akhir kehidupan adalah kematian. Namun ketika kulewati kematian, akupun menemui kehidupan abadi” (Socrates).

Pertanyaannya kita harus berbahagia dengan kehidupan dan bersedih secara ambyar berkeping-keping dengan kematian atau sebaliknya. Setidaknya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Didi Kempot, bahwa patah hati dan ambyar sekalipun itu harus kita rayakan dan kita jogeti.

Bukankah ketika berada dipuncak bahagia maupun dipuncak kepedihan, reaksinya, sebagaimana kalimat yang hampir selalu ada dalam lirik lagu Didi Kempot, sama sama “nètès luh ana ing pipi”.(Achmad Charris Zubair, Ketua KAGAMA Filsafat)

Baca juga: Didi Kempot Beri Contoh Kebhinnekaan pada Malam Temu Alumni FK-KMK UGM 2020