Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia yang Jadi Politikus Bandel di Masa Muda

816

Baca juga: Obat Herbal Indonesia Sepadan dengan Obat Luar Negeri untuk Tangani Covid-19

Suwardi akhirnya dikeluarkan dari STOVIA dan kemudian bekerja di sebuah apotek di Banyumas, Jawa Tengah.

Dia kemudian kembali bekerja di salah satu apotek di Yogyakarta. Namun, karena suatu persoalan, dirinya di-PHK dari pekerjaannya, lalu fokus membantu di kantor berita De Express, sebagai wartawan.

Suwardi dikenal sebagai sosok yang berontak kepada pemerintah kolonial. Setelah membangun partai politik, Indische Partij, dia lalu membentuk Panitia 100 tahun kemerdekaan bersama Dr. Cipto Mangunkusumo.

“Pembentukan panitia sebagai sindiran atas perbuatan Belanda yang tidak etis,” ungkap dosen yang fokus meniliti di bidang hidstoriografi ini.

Seperti dirunut dari sejarahnya, Belanda berniat merayakan 100 tahun kemerdekaannya dari jajahan Prancis di tanah jajahannya, yaitu di Indonesia pada 1913.

Baca juga: KAGAMA Aceh Diresmikan, Ini Program dan Susunan Pengurusnya

“Lebih parahnya lagi, untuk perayaan 100 tahun tersebut, masyarakat Hindia Belanda dituntut untuk berderma memberikan barangnya untuk perayaan itu,” imbuhnya.

Berangkat dari situ pula, dia menulis artikel berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat di harian de Express. Artikel tersebut menjadi pukulan bagi Belanda.

Atas perintah dari Mahkamah Agung, Suwardi, dan Cipto ditangkap. Penangkapan itu dikritik oleh Douwes lewat sebuah tulisan, yang akhirnya membawa dia mengalami nasib sama seperti kedua temannya.

Hukuman Suwardi kala itu berupa pengasingan di Bangka. Pada saat pengasingan, Suwardi ditawari untuk bekerja sebagai guru. Namun tawaran tersebut ditolaknya.

Djoko menilai bahwa Suwardi di masa muda adalah sosok politikus yang bandel. Dia menginginkan sesuatu tanpa memikirkan risikonya.

Baca juga: Aturan Permendag yang Baru Dinilai UGM Bisa Lemahkan Ekspor Produk Industri Kehutanan