Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia yang Jadi Politikus Bandel di Masa Muda

818
Cucu Paku Alam III ini punya kiprah politik yang dianggap ‘bandel’ semasa muda. Foto: Wikipedia
Cucu Paku Alam III ini punya kiprah politik yang dianggap ‘bandel’ semasa muda. Foto: Wikipedia

KAGAMA.CO, YOGYAKARTA – Kebesaran Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara (KHD) tercermin dari banyaknya sejarawan yang menulis tentangnya.

“Tidak kurang dari Abdurahman Suryomiharjo, Ben Anderson, hingga Takashi Shiraisi, menulis tentang KHD,” ujar guru besar Fakultas Ilmu Budaya UI, Prof. Dr. Maria Immaculatus Djoko Marihandono, S.S., M.Si.

Dalam diskusi Hari Pendidikan Nasional yang digelar oleh Museum Kebangkitan Nasional, pada Sabtu (02/05/2020), Djoko menjelaskan secara runtut masa muda Suwardi.

Sebagai cucu dari Paku Alam III, KHD diperbolehkan sekolah di ELS, sekolah khusus anak-anak Eropa dan para pejabat, serta priyayi.

Setelah lulus, Suwardi diarahkan oleh orang tuanya untuk masuk ke sekolah guru. Orang tuanya ingin KHD menjadi guru di masa depan.

Namun, pahlawan nasional yang dijuluki bapak pendidikan Indonesia itu, sempat melalui perjalanan belajar yang tak mulus.

Dia bahkan beberapa kali dikeluarkan dari sekolah di saat mempunyai kesempatan untuk mengakses pendidikan berkat status sosialnya.

Baca juga: Wakil Bupati Banyumas Alumnus UGM Siapkan Fasilitas Karantina Warga yang Terlanjur Mudik

“KHD dikeluarkan dari sekolah guru tersebut. Belum diketahui saat ini, penyebab dia dikeluarkan. Masih kami telusuri,” tutur dosen yang mengajar di Program Studi Prancis itu.

Dari latar belakangnya sebagai anak keluarga terpandang, keluarga tak mungkin membiarkan Suwardi berhenti sekolah hanya karena kesulitan ekonomi.

“Jadi yang jelas, bukan karena tidak memiliki biaya seperti asumsi-asumsi yang sempat beredar selama ini,” ujar Djoko.

Sebagaimana anak Paku Alam yang lain, KHD lantas disekolahkan di STOVIA oleh orang tuanya pada 1905.

Sama seperti siswa lain, sosok pahlawan kelahiran 1889 itu bergabung dengan organisasi Budi Utomo sebagai seksi propaganda.

Nasib kembali menerpa Suwardi, perbuatannya melakukan alih bahasa sajak yang dibuat oleh salah satu pasukan perang Diponegoro, Alibasah Sentotprawirodirjo, dianggap melanggar peraturan sekolah.

Menurut STOVIA, perbuatannya itu sudah membahayakan. Sebab Suwardi sekolah dengan beasiswa dari pemerintah, maka pelangggaran di sekolahnya itu dianggap juga sebagai perlawanan terhadap pemerintah.

Baca juga: KAGAMA Balikpapan Bagikan Paket Lauk Cuma-cuma untuk Buka Puasa Warga