Dana Desa Hanya Akan Berdampak Positif jika Dikelola Secara Demokratis

219

Baca juga: Menlu Retno Marsudi: Dari 12 WNI Terjangkit Corona, 7 Sembuh

Sebab, warga desa menganut sistem ekonomi pasar sekaligus sistem ekonomi tradisional.

Pria yang berdomisili di Jogja ini menambahkan, sistem kapitalisme atau pasar di Indonesia sedikit terhenti saat perang Diponegoro terjadi.

Pasalnya, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki demi memenangi peperangan.

Namun, ucap Yudi, setelah perang usai, kapitalisme di perdesaan kembali hidup.

Bahkan semakin berjalan cepat akibat dari kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

“Dalam sistem tersebut (tanam paksa), warga dipaksa untuk membudidayakan komoditas perdagangan yang laris di pasar internasional,” ujar Yudi

“Selain itu, banyak perusahaan milik pengusaha Belanda yang membuka perkebunan skala besar di Indonesia dan menjadikan warga sebagai buruh perkebunan,” jelasnya.

Baca juga: Budi Setiono, Satu-Satunya Komandan Satuan Resimen Mahasiswa UGM yang Jabat Dua Periode

Bagi Yudi, sistem tanam paksa waktu itu  tergolong tidak adil karena cenderung menindas buruh.

Karena itu, muncul aktivis pembela hak buruh, Tan Malaka, yang mengkoordinasikan para buruh perkebunan.

Khususnya yang tertindas, untuk berjuang melawan sistem ekonomi pasar kapitalis agar lebih menghargai hak-hak para buruh.

Walau begitu, Yudi melihat bahwa kapitalisme di desa saat ini tidak hanya dijalankan melalui sektor ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan.

Namun, desa masa kini juga telah bergerak di sektor properti.

“Dampak dari adanya kebijakan terkait Dana Desa, banyak desa yang menguasai properti seperti tanah, penginapan, gedung pertemuan, dan lain-lain,” kata Yudi.

“Entah itu melalui BUMDes maupun lembaga lain. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya akumulasi aset produksi ke desa,” lanjutnya.

Hanya saja, tren tersebut dipandang Yudi justru membuat warga memiliki kemungkinan semakin terbatas dalam penguasaan aset produksi.

Apabila kondisi semacam ini terus berlanjut, katanya, maka akan terjadi proses pemiskinan di perdesaan karena banyak warga desa yang tidak lagi memiliki aset produksi.

Oleh sebab itu, Yudi menegaskan bahwa Dana Desa bisa berdampak positif bagi kesejahteraan warga masyarakat jika pengelolaannya dilakukan secara demokratis.

“Jika tidak, Dana Desa hanya akan menguntungkan sebagian kecil masyarakat desa, seringkali hanya elite desa, pun bila dikelola secara tidak transparan dan tidak akuntabel,” ujar Yudi.

“Seperti kasus di sebuah desa yang terletak di wilayah Jawa Timur. Dana Desa justru menjadi instrumen untuk memperkaya elite desa karena hanya dikelola oleh kepala desa dan kerabatnya,” pungkasnya.(Ts/-Th)

Baca juga: Ganjar Pranowo Lantik Pengda KAGAMA Jabar Masa Bakti 2020-2025, Berikut Susunan Pengurusnya