Tiket Rp15 Ribu yang Antarkan Prof. Endang S. Rahayu ke Teknologi Pertanian UGM

1734

Baca juga: Cerita Rektor Pertama UGM Perjuangkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pengantar Perkuliahan

Perempuan kelahiran 22 Februari 1954 ini pun kemudian mengikuti alur penerimaan mahasiswa baru UGM kala itu, yakni tes.

Setelah dinyatakan lulus tes, Trisye menempuh proses wawancara dan ditanya tentang kesanggupan memberikan dana sumbangan untuk kampus.

Dia sadar orang tuanya tidak dapat membantunya dengan biaya besar.

“Saya bisanya membayar Rp25 atau 50 ribu kalau diterima di Kedokteran atau Farmasi. Tapi kalau di TP, Saya mau membayar Rp15 ribu saja,” kenangnya.

Trisye mengatakan, nominal Rp15 ribu pada dekade itu tegolong sudah amat mahal, apalagi Rp25 atau 50 ribu.

Usai wawancara, Trisye coba bertanya kepada teman-temannya perihal nilai sumbangan yang bakal diberikan kepada kampus.

Tak dinyana, besaran sumbangan yang hendak diberikan teman-teman Trisye jauh di atas dirinya.

Baca juga: Indonesia Aman dari Wabah Corona

“Teman-teman Saya ada yang ratusan ribu rupiah, bahkan ada yang Rp500 ribu,” tutur Trisye.

“Lha Saya cuma mau membayar Rp50 ribu, jadi ya mana mungkin diterima (di kedokteran),” terangnya dengan tersenyum.

Ibu satu orang anak ini pun menyadari, takdir memang telah memilihnya untuk masuk ke Teknologi Hasil Pangan (sekarang Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian) UGM.

Selain itu, berkuliah di THP tidak membuat Trisye terbebani.

Sebab, keinginan sang ibu yang ingin salah satu anaknya berkuliah di bidang kesehatan telah dipenuhi oleh kakak perempuannya.

Sumbangan Rp15 ribu pun tak ubahnya sebagai tiket, yang kemudian mengantarkan Trisye menjadi dosen dan peneliti TPHP UGM sejak 1980 hingga sekarang. (Tsalis)

Baca juga: Dongkrak Akselerasi Pembangunan, Pemkab Kutim Bakal Penuhi Dokter Spesialis dari UGM