Candu Masyarakat pada Uang Elektronik, Good Life atau Happines?

1064

Baca juga: Akademisi UGM Peraih Anugerah DIKTENDIK Berprestasi 2019, Tegaskan Pentingnya Hilirisasi Riset

Data yang Diperjualbelikan Hingga Ancaman terhadap Negara

Aspek yang membahayakan dari adanya uang elektronik ini adalah data kita yang bisa diperjualbelikan.

Di samping itu, bisa jadi manusia kehilangan kontrol dan di kemudian hari akan muncul pertanyaan siapa yang sebetulnya mengontrol kita?

“Kalau sekarang swasta sudah mulai ikut mengontrol uang. Pemerintah dan bank central merupakan lembaga yang terancam. Kekuatannya melemah, karena dorongan-dorongan yang berbasis pasar. Mereka bisa dikalahkan perusahaan-perusahaan yang berbasis data,” jelas Sidiq.

Dia menambahkan bahwa konsekuensi yang lebih besar, kondisi ini bisa mengancam state.

Regional kini sudah bisa membuat regulasi, sehingga kekuatan state mulai melemah.

Masyarakat perlahan tidak lagi bisa berharap lebih pada bank sentral dan national government di dunia pasar bebas.

Baca juga: GTP UGM Kembali Dampingi Calon Mahasiswa dari Papua

Sensasi Kehilangan Uang Mulai Berkurang

Salah seorang pakar teknologi mangatakan, uang elektronik berbahaya, karena rasa sakit ketika kita kehilangan uang tersebut tidak terasa.

Bisa jadi analisis ini benar, apalagi di Indonesia kultur masyarakat cenderung ke arah perilaku ini.

”Kultur kita dari awal menggunakan uang fisik, kemudian muncul e-money. Kemudian ketika kita hidup dalam era di mana uang diukur lewat digital, yang nggak ada referensinya. Mungkin kehilangan, tetapi nggak begitu kerasa seperti kita pakai uang fisik,” ujar Sidiq.

Pergerakan masyarakat menuju cashless society membutuhkan waktu lama.

Dijelaskan Sidiq, orang harus lebih dulu terbiasa dengan konsepsi digital.

Kini mendapatkan dan mengeluarkan uang hanya cukup menyentuh tombol klik saja.

Masyarakat tak perlu mengeluarkan effort yang lebih besar.

”Jadi, karena effort-nya just click, mendapatkan dan mengeluarkan uang tidak terasa. Tidak ada sense ‘ketiban duren’,” tandas dosen yang fokus mempelajari isu digital society itu.

Dia kemudian menambahkan, sensasi kehilangan terhadap uang mulai berkurang.

“Terdapat pertentangan antara kebebasan individu dengan kekuatan regulasi. Kehidupan yang baik secara bersama atau bahagia merupakan hak setiap individu. Pilih good life atau happiness?,” ujar alumnus Sosiologi angkatan 2008 itu.

Era digital berfokus pada keinginan individu (personalize) lewat infrastruktur termasuk smartphone.

Dengan smartphone masyarakat dibuat untuk melakukan apapun berbasis personal interest, bukan lagi berbasis institusi, terdistribusi langsung ke individu.

Baca juga: Menjadi Orang Tua Bijak bagi Generasi Milenial

Masyarakat Perlu Waspada dan Miliki Kesadaran

Sidiq mengamati tren masyarakat sudah dibawa ke era cashless society oleh proyek global.

Namun, tidak semua orang memperoleh keuntungan, apalagi di negara yang tingkat kesenjangannya besar.

“Karena ini cepat sekali, tiba-tiba kita sudah dikenalkan tekonologi digital. Bagi mereka yang tidak bekerja menggunakan teknologi digital ini, tentu mereka bisa tertinggal. Di tengah pesatnya proyek digitalisasi, yang perlu dilakukan adalah menyempitkan kesenjangan sosial itu,” ujarnya.

Masyarakat di era digital harus konsen terhadap privasi data.

Walaupun ketika bertransaksi masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menghindari konsekuensi.

Dalam hal ini, masyarakat memiliki kesadaran bahwa data ini tidak bisa dikomodifikasi.

“Konsen terhadap privasi data bukan berarti kita menyembunyikan data kemudian tidak bertransaksi. Tetapi sadar bahwa data tidak bisa dimanfaatkan seenaknya oleh company untuk kepentingan mereka. Privasi data ini harus dilindungi,” tandas Sidiq. (Kinanthi)

Baca juga: Peraih Beasiswa LPDP Ini Jadi Lulusan Terbaik Fakultas Kehutanan UGM