Pakar UGM Usulkan Perubahan Kebijakan Agar BPJS Tidak Merugi

244
Ilustrasi: Bila BPJS tidak melakukan perbaikan, maka situasinya akan lebih memburuk. Foto: nasional.republika.co.id
Ilustrasi: Bila BPJS tidak melakukan perbaikan, maka situasinya akan lebih memburuk. Foto: nasional.republika.co.id

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami defisit dari tahun ke tahun.

Merujuk pada Katadata dan DJSN, BPJS Kesehatan pada tahun 2018 alami defisit Rp9,1 Triliun.

Jika sistem tidak dibenahi, maka diprediksi akan meningkat hingga Rp18,9 Triliun di tahun 2019.

Data tersebut dipaparkan oleh Ketua Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro dalam jumpa pers tentang JKN dan Pemerataan Kuratif pada Selasa (08/10/2019), di Gedung Pengembangan dan Penelitian FK-KMK UGM.

Laksono memaparkan proyeksi di tahun 2014 dan temuannya di tahun 2019 oleh PKMK.

Terdapat tiga pihak yang membayar premi, di antaranya Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN, PBI APBD, Pekerja Penerima Upah (PPU), dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).

“Selama empat tahun dana untuk PBI sebetulnya sisa. Tetapi karena PBPU mengalami defisit, maka dana yang seharusnya untuk kompensasi PBI itu dikeluarkan untuk menutup biaya PBPU. PBI APBN terbukti digunakan untuk membiayai masyarakat yang relatif mampu,” jelas Laksono.

Dari total pengguna JKN, presentase jumlah PBI APBN ada 43,2 persen, PBI APBD ada 16,4 persen, PPU 23,4 persen, dan PBPU 14,7 persen, serta bukan pekerja ada 2,3 persen.

Ketua Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM Prof. dr. Laksono Trisnantoro mengatakan, Presiden perlu melakukan perubahan Perpres No.72/2012 untuk mempertegas kembali kedudukan, kewenangan, dan pertanggung jawaban pelaksanaan jaminan kesehatan. Foto: Kinanthi
Ketua Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM Prof. dr. Laksono Trisnantoro mengatakan, Presiden perlu melakukan perubahan Perpres No.72/2012 untuk mempertegas kembali kedudukan, kewenangan, dan pertanggung jawaban pelaksanaan jaminan kesehatan. Foto: Kinanthi

Baca juga: Turunkan Stunting, Dirjen Kesmas Kirana Imbau Pemkab/Kota Contoh Kabupaten Nganjuk

Meskipun PBPU yang menggunakan JKN hanya 14 persen, tetapi dana untuk menalangi kerugiannya sangat besar.

Bisa dibilang PBPU merupakan golongan yang membuat keuangan BPJS defisit.

Jika dipukul rata, sebetulnya pelayanan BPJS justru lebih banyak diberikan kepada mereka yang mampu.

“Premi bagi PBPU itu relatif murah bagi yang mampu. Karena murah itu, penggunaannya jadi sangat banyak, tidak ada batasnya, sehingga BPJS merugi,” ujar Laksono.

Ia menjelaskan, dengan kondisi keuangan yang demikian BPJS tidak lagi memiliki biaya kompensasi untuk daerah sulit.

Bila BPJS tidak melakukan perbaikan, kata Laksono, maka situasinya akan lebih memburuk.

Biaya kesehatan PBPU akan bersandar pada BPJS.

Laksono mengatakan, masyarakat miskin yang berada di daerah terbatas tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan spektrum yang luas.

Baca juga: Ketua ADINKES, Krisnajaya: KAGAMA dapat Banyak Berperan untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan di Indonesia