Impor Sampah Harus Dihentikan

801
Sampah yang terkontaminasi B3 dan tidak bisa didaur ulang menjadi ancaman kelestarian lingkungan dan membahayakan manusia. Foto : Humas UGM
Sampah yang terkontaminasi B3 dan tidak bisa didaur ulang menjadi ancaman kelestarian lingkungan dan membahayakan manusia. Foto : Humas UGM

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Masih segar dalam ingatan, impor sampah yang berlimpah ke Indonesia ramai diperbincangkan dan menjadi sorotan media serta masyarakat.

Belum usai penanganan limbah dalam negeri, Indonesia justru diserbu sampah pastik impor dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat.

Dosen dan peneliti minat lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Suherman, Ph.D., menyebutkan masuknya sampah dari luar negeri disebabkan kebijakan Cina di tahun 2018 untuk membatasi impor sampah.

Sementara Cina menjadi produsen pengolahan sampah daur ulang terbesar dunia.

Negara ini menjadi penyerap 45 persen sampah dunia untuk di daur ulang.

Akibat pembatasan impor sampah tersebut menjadikan pengekspor sampah dari negara maju mencari negara alternatif sebagai tujuan pengiriman sampah domestik padat mereka.

“Akhirnya pemilik sampah di negara maju mencari alternatif dan negara-negara berkembang menjadi tujuan dari sampah-sampah impor, termasuk Indonesia,” katanya saat ditemui di Kampus UGM belum lama ini.

Peneliti minat lingkungan FMIPA UGM, Suherman, Ph.D., menilai tantangan besar bagi negara Indonesia dan negara lain karena sampah kemudian menjadi komoditas bisnis lintas negara yang membutuhkan regulasi ketat dan pengawasan cermat dan selaras dengan keamanan lingkungan di masa mendatang. Foto : Humas UGM
Peneliti minat lingkungan FMIPA UGM, Suherman, Ph.D., menilai tantangan besar bagi negara Indonesia dan negara lain karena sampah kemudian menjadi komoditas bisnis lintas negara yang membutuhkan regulasi ketat dan pengawasan cermat dan selaras dengan keamanan lingkungan di masa mendatang. Foto : Humas UGM

Sementara industri pengolahan sampah daur ulang di Indonesia tidak besar.

Selain itu, sistem pengelolaan sampah juga belum berjalan secara maksimal dengan angka daur ulang masih rendah yaitu 10-20 persen.

Pembatasan impor ini, tutur Suherman, menjadi tantangan besar bagi negara Indonesia dan negara lain karena sampah kemudian menjadi komoditas bisnis lintas negara yang membutuhkan regulasi ketat dan pengawasan cermat dan selaras dengan keamanan lingkungan di masa mendatang.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 mencatat Indonesia melakukan impor scrap plastik sekitar 283 ribu ton.

Angka ini menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dan sayangnya dari keseluruhan impor sampah tersebut tidak seluruhnya bisa didaur ulang dan tidak sesuai aturan impor sampah karena mengandung bahan berbahaya dan beracun(B3).

Dia berpandangan, masuknya sampah impor ini menjadi beban tambahan bangsa.

Sebab Indonesia sendiri belum usai dengan pengelolaan sampah dalam negeri, masih ditambah dengan urusan sampah impor.

Bahkan sampah yang masuk ada yang terkontaminasi B3.

“Sampah yang terkontaminasi B3 dan tidak bisa didaur ulang menjadi ancaman kelestarian lingkungan dan membahayakan manusia.”

“Karenanya langkah penghentian impor sampah yang tidak sesuai ketentuan harus segara dilakukan,” tutur Suherman.

Sementara pakar hukum internasional sekaligus pemerhati hukum lingkungan internasional UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A., menyebutkan masuknya sampah plastik dan tidak bisa didaur ulang dari luar negeri bukan kali pertama di Indonesia.

Sebelumnya juga telah terjadi pada tahun 2007, 2011, 2015, dan 2016.

“Sampah plastik masuk ke Tanah Air ini merupakan kejadian berulang.”

“Yang menjadi pertanyaan kenapa ini bisa terus berulang,” tuturnya di tempat terpisah.

Pria yang akrab disapa Jeto ini menyampaikan Indonesia telah memiliki hukum yang mengatur tentang tata niaga ekspor impor termasuk sampah.

Peraturan yang ada secara normatif kompatibel untuk menanggulangi dan mengatur hal tersebut.

Kendati begitu persoalan tersebut terus terjadi secara berulang salah satunya dikarenakan masalah klasik yaitu adanya gap dan perbedaan antara aturan yang tertulis dengan yang terjadi.

“Aturan sudah ada, tapi implementasi kdi lapangan yang tidak sesuai.”

“Tidak perlu revisi aturan, namun implementasinya yang harus dilakukan sesuai ketentuan ” terangnya.

Ditambah adanya tumpang tindih kewenangan hukum dalam organ negara seperti yang terjadi antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

“Ada over lapping kewenangan hukum di Kementrian Perdagangan dan KLHK.”

“Jadi saling melempar tanggung jawab, saling menyalahkan, dan cuci tangan, serta terjadi miskomunikasi secara masif di level startegis, operasional, serta praktis,” papar dosen Fakultas Hukum UGM ini.

Pakar hukum internasional sekaligus pemerhati hukum lingkungan internasional UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A., menyebutkan bahwa perbedaan hukum Indonesia dengan negara pengekspor sampah ini menimbulkan celah sehingga sampah plastik bisa masuk ke Tanah Air. Foto : Humas UGM
Pakar hukum internasional sekaligus pemerhati hukum lingkungan internasional UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A., menyebutkan bahwa perbedaan hukum Indonesia dengan negara pengekspor sampah ini menimbulkan celah sehingga sampah plastik bisa masuk ke Tanah Air. Foto : Humas UGM

Selain hal tersebut, Jeto mengatakan bahwa kevakuman hukum antara sistem hukum nasional dengan sistem hukum negara lain (pengekspor) turut menjadi penyebab fenomena ini terus terulang.

Perbedaan hukum Indonesia dengan negara pengekspor sampah ini menimbulkan celah sehingga sampah plastik bisa masuk ke Tanah Air.

“Persoalan ini harus ditangani secara komperehensif di level startegis, kalau tidak kejadiannya akan berulang terus,” tegasnya.

Masuknya sampah yang tidak masuk dalam daftar yang diizinkan menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan importir.

Pemerintah dalam hal ini di level strategis yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Menteri Perdagangan harus turun tangan serta memberikan laporan apa yang telah terjadi selama ini.

Lantas di level operasional, pemerintah provinsi diharapkan dapat melakukan pengawasan dan mengatur tata ruang di wilayahnya.

Sedangkan di level praktis, pemerintah kabupaten atau pemerintah kota sebagai daerah penerima sampah harus bisa mengontrol sampah yang masuk dan memastikan apakah wilayahnya diperuntukan untuk hal tersebut atau tidak.

Sementara bagi pemegang izin impor juga harus bertanggungjawab memastikan sampah yang akan diimpor tidak mengandung limbah plastik dan bahan yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

Apabila ada sampah yang tidak masuk daftar yang diizinkan maka harus dilakukan pengiriman kembali ke negara asal.

“Kalau sampai terjadi pelanggaran, izin impor dan usaha bisa dicabut,” pungkas Jeto. (Humas UGM/Ika)