Sang Birokrat Konservasionis

861
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengajak masyarakat setempat diajak menjaga lahan gambut dan tak lagi menerapkan pembakaran lahan untuk pertanian. Foto : Fajar/KAGAMA
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengajak masyarakat setempat diajak menjaga lahan gambut dan tak lagi menerapkan pembakaran lahan untuk pertanian. Foto : Fajar/KAGAMA

KAGAMA.CO, JAKARTA – Bertualang, menjelajah, hingga tersesat di hutan semasa kuliah merupakan sepenggal pengalaman yang dialami Nazir Foead.

Lulus dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, dia lama bekerja di The World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia hingga jadi pejabat di lembaga donatur.

Berbekal pengalaman sebagai ahli konservasi alam, dia ditunjuk jadi birokrat yang bertanggung jawab memperbaiki lahan gambut di Tanah Air.

Saat KAGAMA bertemu dengannya di Jakarta beberapa waktu lalu, Nazir mengisahkan ragam pengalamannya semasa kuliah, kiprahnya selama berkarya di WWF Indonesia dan jadi pejabat lembaga donatur, hingga tugas yang diembannya sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) saat ini.

Didirikan pada Januari 2016, BRG bertanggung jawab memperbaiki kondisi lahan gambut yang rusak akibat terbakar beberapa waktu lalu.

Sebagai Kepala BRG, Nazir bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Jabatan yang diembannya setara dengan menteri di Kabinet Kerja.

Kecintaan dan kepedulian Nazir terhadap masalah lingkungan serta pelestarian alam telah terbentuk sejak dia kuliah.

Masuk Fakultas Kehutanan UGM pada 1985, Nazir aktif mengikuti kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam Gadjah Mada (Mapagama).

“Saya pilih Program Studi Konservasi Sumber Daya Hutan yang tidak populer, tapi kebanyakan mahasiswanya aktif di kegiatan pecinta alam dan rada slengean.”

“Saya aktif di Mapagama dan jadi pengurus, sempat jadi ketua operasional hingga ketua ekspedisi.”

“Hanya kegiatan ekspedisi yang besar, yang boleh memakai nama Gadjah Mada.”

“Ekspedisi Gadjah Mada itu mesti ada riset, ada kegiatan pengabdian untuk masyarakat sekitar, dan bekerja sama dengan universitas setempat,” kenang Nazir.

Tahun 1992, Nazir lulus kuliah dan bergabung di WWF Indonesia.

Dari 1992 hingga 1995, dia pernah menjadi Manager Stasiun Riset Kayan Menterang yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan riset WWF, LIPI, dan Departemen Kehutanan di Cagar Alam Kayan Menterang, Kalimantan Timur.

Di tahun 1995, selama empat bulan, dia mendapat beasiswa kuliah di University of Gottingen, Jerman.

Setelah dari Jerman, 1995-1996, Nazir kuliah S2 di Durrel Institute of Conservation and Ecologi di University of Kent United Kingdom, Inggris.

Balik ke Indonesia, dia ditunjuk menjadi Project Manager Ujung Kulon dari 1997 sampai 2001.

Lalu Nazir menempati berbagai posisi di WWF seperti Deputi Direktur Konservasi Spesies 2000-2001, Direktor Region Sumatera-Jawa WWF 2001-2003, dan Direktur Konservasi Species tahun 2003-2006.

Lalu, dia menjadi Direktur Bidang Kebijakan dari 2006 hingga 2011.

Lantas dari tahun 2011 sampai 2014, ia dipercaya menjadi Direktur Konservasi WWF Indonesia.

Tahun 2014, dia bergabung dengan lembaga donor, Climate and Land Use Alliance (CLUA), sebagai Pimpinan Program Indonesia.

Saat Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada Januari 2016, Nazir ditunjuk sebagai kepala lembaga tersebut.

“Tugas BRG memperbaiki lahan gambut yang rusak karena kering dan terbakar.”

“Caranya, kami membasahi lahan gambut itu, kalau lahannya di kawasan lindung maka ditimbun atau diuruk.”

“Bila lahannya di kawasan ulayat maka kami membuat sekat-sekat,” tuturnya.

Menurut Nazir, Presiden menargetkan 200 ribu hektare lahan gambut bisa diperbaiki dalam setahun.

Berkat pengawasan yang ketat dan dibantu cuaca hujan yang dominan di Tanah Air, menurut data 2017, kebakaran gambut di Indonesia turun hingga 99%.

BRG pun telah membuat ribuan sumur dan pembuatannya merujuk pada kearifan lokal warga di Jambi dan Kalimantan Tengah saat terjadi kebakaran hebat di lahan gambut pada 2015.

“Kami sudah ada 7.000 sumur yang dibangun oleh warga sendiri dengan kedalaman 20 meter, lalu dipasangi pompa untuk menyemprot lahan gambut supaya tetap basah,” papar Nazir.

Selain itu, ada program penanaman di lahan gambut yang direstorasi.

Masyarakat setempat diajak menjaga lahan gambut dan tak lagi menerapkan pembakaran lahan untuk pertanian.

Secara umum, ada 14,9 juta hektare lahan gambut di 19 provinsi.

Dari semua itu, ada tujuh provinsi yang punya gambut relatif luas dan mudah terbakar, yakni seluas 12,9 juta hektare.

BRG punya wilayah kerja di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. (Jos)