Pencegahan Korupsi di Indonesia, Akuntabilitas dan Kelembagaan Menjadi Kunci

401
Aturan formal dan informal harus seimbang dalam kelembagaan. Foto: Kinanthi
Aturan formal dan informal harus seimbang dalam kelembagaan. Foto: Kinanthi

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Perilaku korupsi semakin membuat gelisah, baik korupsi di negara berkembang maupun negara maju.

Berbagai upaya menelusuri jejak-jejak dugaan korupsi telah dilakukan, salah satunya menggunakan platform digital sebagai alat.

Namun, hal ini tak banyak membuahkan hasil.

Akuntabilitas dan desain kelembagaan menjadi akar penyebab sekaligus titik penyelesaian bagi maraknya korupsi.

Hal ini banyak dibahas oleh Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, M.Sos. Sc. (Staf Khusus Kementerian Perhubungan RI), Didid Nurdiatmoko, Ak., M.M. (Sekretaris Deputi Akuntabilitas Kementerian PANRB RI), Rusdi Akbar, M.Sc., Ph.D., CMA., CA., Ak (Direktur Public Sector Governance FEB UGM).

Mereka membahasnya dalam acara PSG Talks #4: Akuntabilitas dan Pencegahan Korupsi di Indonesia, pada Sabtu (25/05/2019) di Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM.

APBN Indonesia memberikan output sebanyak 11.702.

Namun, menurut temuan Rusdi, laporan dari penggunaan APBN itu tak memberikan hasil yang substansial dan hanya berorientasi input.

Rusdi banyak melakukan publikasi riset yang membahas soal pengukuran performa pemerintah dalam pelaksanaan birokrasi.

Persembahan lagu oleh Wihana Kirana Jaya dalam PSG Talks #4. Foto: Kinanthi
Persembahan lagu oleh Wihana Kirana Jaya dalam PSG Talks #4. Foto: Kinanthi

“Laporan sering meaningless. Praktik akuntabilitas publik tidak lebih dari praktik seremonial,” ungkap Rusdi memaparkan simpulan dari berbagai temuannya.

Sementara itu, Wihana mengatakan bahwa institution is role of the game.

Korupsi bisa dihilangkan lewat kerangka kelembagaan yang baik.

Menurut Wihana, dalam ekonomi kelembagaan, budaya korupsi muncul berawal dari praktik sesembahan, gratifikasi, suap, pemberian insentif, dan sejenisnya.

“Ini merupakan warisan budaya Jepang yang sudah tidak relevan. Perilaku masa lalu berulang di zaman sekarang,” ungkap Wihana.

Ia menambahkan bahwa kelembagaan di Indonesia masih lemah.

Baginya, kelembagaan yang ideal pastinya mendorong akuntabilitas dan dapat mengurangi korupsi.

“Aturan formal dan informal harus seimbang dalam kelembagaan. Semua aspek disepakati bersama. Lalu yang tak kalah penting, kultur sebagai modal sosial utama harus diubah,” ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Dekan FEB pada 2012 itu.

Wihana mengumpamakan rakyat seharusnya menjadi ‘panglima’ dalam kerangka ini.