Indikasi Politik Uang dalam Pemilu 2019 Masih Cukup Besar

133
Politik uang bukan hanya problem voters. Tapi lebih mengerikan ketika politik uang telah menjadi kesepakatan antara elit dan kandidat.(Foto: Rosa)
Politik uang bukan hanya problem voters. Tapi lebih mengerikan ketika politik uang telah menjadi kesepakatan antara elit dan kandidat.(Foto: Rosa)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Beberapa waktu lalu, Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM melalui Laboratorium Big Data Analisis dan Polgov Research Center baru saja melakukan riset terkait Pemetaan Potensi Politik Uang pada Pemilihan Umum 2019.  Riset tersebut dilakukan menggunakan metode yang berbeda.

“Kami menggunakan tiga metode berbeda untuk melihat kasus ini, pertama kami menganalisis percakapan di sosial media. Yang kedua, survei pemilih dan terakhir yaitu penelitian kualitatif terhadap kandidat kepala daerah 2018,” terang Ulya Efrina Jamson, Dosen DPP Fisipol UGM dalam acara Rilis Hasil Analisis Big Data: Peta Potensi Politik Uang Pada Pemilu 2019, Senin (15/4/2019) di Digilib Cafe Fisipol UGM.

Jamson juga menambahkan bahwa metode analisa percakapan di media sosial dilakukan sejak tanggal 2 April 2019 hingga 12 April 2019.

Sedangkan survei dilakukan pada 8-13 Maret 2018 dengan 800 responden di provinsi DIY, dan penelitian kualitatif terhadap pemilihan kepala daerah dilakukan sepanjang April-Saptember 2018 di Madiun.

Dari riset tersebut ditemukan bahwa indikasi adanya politik uang dalam pemilu 2019 masih cukup besar.

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fisipol UGM Dr. Wawan Mas’udiWawan Mas’udi yang turut hadir dalam rilis tersebut menyampaikan bahwa dari analisis percakapan menunjukan dari 7647 total percakapan terkait dengan varian-varian politik uang, hanya 1817 yang lokasinya terdeteksi dengan ‘amplop’ sebagai kata kunci centralnya.

Namun percakapan ini kemudian memuncak pada 11 April 2019 sebanyak 2.921 percakapan, padahal biasanya kurang dari 1000 percakapan.

Kondisi ini dipicu adanya penangkapan salah satu pasangan calon (paslon) dari partai Golongan Karya (Golkar). Selain itu juga karena adanya laporan-laporan sporadis yang menyampaikan adanya praktik jual beli suara oleh para kandidat legislatif.

Pemetaan Potensi Politik Uang pada Pemilihan Umum 2019.(Foto: Rosa)
Pemetaan Potensi Politik Uang pada Pemilihan Umum 2019.(Foto: Rosa)

“Momentum penangkapan paslon politikus dari Golkar ini kemudian memancing perbincangan politik uang di media sosial,” terang Mas’udi yang juga sebagai Dosen DPP FISIPOL UGM.

Sebaran geografis dari perbincangan terkait politik uang ini jauh lebih beragam dari topik-topik yang lain. Mas’udi menilai hal ini menunjukkan masyarakat sudah mulai cukup peduli akan praktik politik uang.

Sedangkan dari hasil survey terhadap pemilih di DIY menunjukan hanya 17.38 persen memperbolehkan adanya politik uang. Sisanya sekitar 80 persen menolak adanya politik uang.

Namun kondisi berbeda ketika pertanyannya berkaitan dengan kesediaan menerima politik uang. 34,5 persen pemilih mau menerima.

Menurut Dr. rer.pol. Mada Sukmajati, MPP, dosen DPP UGM, kondisi ini cukup anomali mengingat peserta memilu yang menyatakan melarang adanya politik uang, justru beberapa dari mereka mau menerima.

“80 persen bilang politik uang tidak boleh bahkan haram. Tapi pas ditanyakan lagi kalau ada yang kasih uang/barang apakah menerima? Yang bilang tidak menerima 60 persen,” Ucap Sukmajati.

Menurutnya, kondisi ini mengkonfirmasi bahwa ada semacam ketidak singkronan antara kognisi dan praktik pada pemilih di Indonesia.