Peneliti Biodiesel UGM: Implementasi Kebijakan B20 Dilematis

314
Diskusi bertajuk 'Mengungkap Potensi Biofuel untuk Mendukung Kemandirian Energi Indonesia
Diskusi bertajuk 'Mengungkap Potensi Biofuel untuk Mendukung Kemandirian Energi Indonesia".(Foto: Rosa)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Munculnya kebijakan B20 pada penghujung tahun 2018 dianggap sebagai angin segar bagi masa depan energi berkelanjutan di Indonesia. Akan tetapi, kebijakan tersebut justru menimbulkan perdebatan baru.

Diratifikasi pada 23 Agustus 2018 lalu, kebijakan B20 adalah sebuah kebijakan yang mengharuskan penggunaan biodiesel  sebagai campuran bahan bakar sebanyak 20 persen.

Harapannya, penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi bisa menurun. Mengingat kondisi saat ini cadangan energi berbahan bakar fosil sudah mengalami penurunan.

Kebijakan tersebut diprediksi mampu menurunkan impor minyak bumi sebanyak 20,99 persen pada penghujung 2019, dibanding akhir tahun 2018. Selain itu juga diperkirakan mampu menghemat anggaran devisa mencapai USD 21 juta per hari, atau sebesar USD 5,5 miliar per tahun.

“Namun, penggunaan biodiesel yang bersumber dari bahan nabati ini justru menimbulkan dilema baru. Mengingat bahan bakar nabati yang dipergunakan adalah minyak sawit,” terang Ir. Nunung Prabaningrum M.T., Ph.D.

Peneliti Biodisel UGM tersebut hadir sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Mengungkap Potensi Biofuel untuk Mendukung Kemandirian Energi Indonesia’, pada Rabu (28/03/2019) di Perpustakaan Teknik lantai 2.