Menyambung Hidup di Pinggiran Jogja

465
Menyambung Hidup di Pinggiran Jogja.(Foto: Sirajuddin)
Menyambung Hidup di Pinggiran Jogja.(Foto: Sirajuddin)

KAGAMA.CO, YOGYAKARTA – Hidup di kota menuntut kita untuk beradaptasi lebih. Begitulah benak Ibu Widayani dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Selama 24 jam ia setia menunggu para pelanggannya di pinggiran trotoar Jalan Kusumanegara. Bunga yang dijajakannya pun laku satu demi satu.

“Bu, kantile sepuluh ewu karo mlati limang ewu”. Sahut  seorang pelanggan yang sedang membeli bunga kantil dan melati dengan harga masing-masing Rp10 ribu dan Rp5 ribu.

Ibu Widayani adalah seorang penjual bunga pemakaman yang sudah 22 tahun berjualan di Yogyakarta.

Jika sudah layu, tidak ada pilihan lain selain dibuang.(Foto: Sirajuddin)
Jika sudah layu, tidak ada pilihan lain selain dibuang.(Foto: Sirajuddin)

Ibu Widayani berjualan bunga secara turun-temurun. Ketika ibunya meninggal di tahun 1997, dialah penerus generasi selanjutnya sebagai penjual bunga bersama anaknya.

Bunga mawar, melati, kantil, dan kenanga adalah upayanya dalam menyambung kehidupan bersama keluarga. Tak pelak jika hari berkabung, bagi orang yang ditinggal pergi adalah hari bahagia bagi Ibu Widayani.

Pemakaian bunga di setiap pemakanan merupakan adat dari budaya Jawa. “Adat Jawa biasanya pas sripah (orang meninggal) pasti ditaburi kembang ing nduwure makam. Iki wis dari zaman nenek moyang”, jelasnya kepada Kagama, bahwa bunga-bunga yang ditaburkan di atas pusara telah dilakukan sejak zaman nenek moyang.

Bagi kebanyakan orang, bunga di pemakaman memiliki daya mistis. Ada yang berpikiran tentang datangnya makhluk lain, atau sebagai jimat supaya si mayat tetap hidup.