Liek Suyanto, Mengajar Sanggar Tanpa Dibayar

882

“Begitu main kok pentasnya sukses, lalu saya lakunya di seni peran,” cetusnya.

Pada tahun 1973, beberapa tahun setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Liek pindah ke Bengkel Teater. Ia merasa beruntung diperkenalkan dengan Sanggar Bambu dan Bengkel Teater oleh Tuhan. Jika tidak, barangkali sampai sekarang Liek masih hidup menjadi berandalan,.

Sekitar sepuluh tahun lalu, Liek Suyanto mulai terjun ke layar televisi nasional, tepatnya menjadi bintang Film Televisi (FTV).  Selain itu, ia juga mendalami seni peran untuk film layar lebar, salah satunya berjudul “Barapati”.

“Saya jadi Rajapati musuhnya Gadjah Mada, karena tidak senang Gadjah Mada lebih terkenal dari Hayam Wuruk,” ungkap pemeran Kyai Magelang dalam film “Sang Pencerah” ini.

Lewat berperan dalam berbagai FTV maupun film, Liek Suyanto dapat hidup cukup. Meskipun demikian, Liek tidak kehilangan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Kegelisahan Liek Suyanto terhadap pergaulan anak muda yang akhirnya mempertemukannya dengan Wahyudi Djaja, salah seorang pendiri Sanggar Archaeva. Liek ingin sanggar menjadi tempat bertemunya karya dan gagasan yang positif sehingga menjadi tempat belajar para pemuda.

Dalam perjalanannya, Sanggar Archaeva juga mewadahi idealisme Liek di dunia seni peran sekaligus wujud kecintaannya pada anak muda lewat seni.

“Saya tidak mau terlalu idealis, sanggar untuk menyalurkan idealisme saya sebagai pelaku seni, sedangkan tawaran film dan FTV untuk cari makan,” imbuhnya sembari tertawa.

Wahyudi Djaja merasa kepedulian Liek Suyanto pada anak didiknya terlampau besar. Sikap kekeluargaan yang diterapkan membuat anak didiknya merasa nyaman menimba ilmu darinya.

“Pak Liek itu mementingkan anak didiknya untuk maju. Dia orang yang total dan tidak setengah-setengah,” tutur Wahyudi.(Thovan)