FIB UGM dan KAGAMA Gelar Lomba Sastra dan Seni ke-4

176

BULAKSUMUR, KAGAMA – Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) bekerjasama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) mengadakan Lomba Sastra dan Seni ke-4 tahun 2017. Perlombaan ini sedikit berbeda dengan tahun 2015 lalu. Menurut Dr. Aprinus Salam, M. Hum., jika tahun lalu hanya ada 5 katogeri, tahun ini ditambah lomba meme dan membuat profil FIB.

“Selain kategori pembuatan video profil FIB, keenam kategori yang dilombakan akan di-online-kan dulu, supaya publik bisa membacanya terlebih dulu, dan nanti kita yang mengeksekusi karya mana yang menjadi pemenang,” kata Koordinator Perlombaan ini saat jumpa pers di Ruang Multimedia FIB UGM, Jumat (18/8/2017).

Kepala Pusat Studi Kebudayaan ini memaparkan, total kategori yang dilombakan tahun ini adalah lomba penulisan puisi, lomba penulisan cerita pendek, lomba penulisan kritik sastra, lomba fotografi, lomba penulisan meme, lomba pembuatan film, dan lomba pembuatan profil FIB UGM. “Lomba terbuka bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Materi lomba yang diviralkan harus diberi identitas bahwa materi tersebut untuk lomba Sastra dan Seni FIB UGM 2017,” imbuhnya.

Pihaknya menambahkan, batas akhir pengumpulan materi lomba 30 September 2017. Penjurian 5-20 Oktober 2017. Pengumuman lomba akan dilaksanakan pada acara Malam Anugerah Sastra dan Seni ke-4 Tahun 2017 Universitas Gadjah Mada, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, pada 10 November 2017, pukul 19.00-22.00 WIB.

Dalam kesempatan tersebut, Dekan FIB UGM Dr. Wening Udasmoro, M. Hum., DEA. memaparkan tema perlombaan itu bertajuk “Revitalisasi Penghargaan terhadap Perbedaan”. Menurut Wening, penggunaan kata revitalisasi merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa perbedaan itu penting. Pihaknya mempertanyakan apakah perbedaan masih dihargai atau merupakan suatu beban bagi kelompok atau golongan tertentu.

Wening melanjutkan, tema tersebut diangkat untuk mengingatkan kembali realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, bangsa yang dalam sejarahnya memiliki sejarah panjang dalam menghargai keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam aspek tersebut toleransi terhadap perbedaan sangat kental dalam berkehidupan.

“Perbedaan adalah khittah manusia. Kita memang berbeda. Keberagaman, perbedaan, dan penghargaan terhadap hal yang berbeda memanglah sesuatu yang harus kita lakukan,” tandasnya.

Melalui perlombaan ini, lanjut Wening, pihaknya berharap kontribusi masyarakat dalam membangun bangsa melalui bahasa dan sastra. Fenomena berbahasa yang terjadi di ruang virtual dirasakan Wening mengalami degradasi di mana kesopanan dalam berbahasa menurun.

“Daripada yang dibuat di tingkat virtual adalah bahasa-bahasa yang tidak bagus, yang merusak, destruktif, mengapa kita tidak meluncurkan sesuatu yang sifatnya masif untuk membuat orang bersama-sama membuat bahasa-bahasa yang lebih baik,” imbuhnya.

Jadikan UGM Pusat Budaya

Senada dengan Wening, Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM Dr. Paripurna P. Sugarda, S.H., M. Hum., L.L.M. menyampaikan bahwa seni dan sastra sarana yang paling efektif untuk menanamkan nilai-niali keluhuran budi untuk meluruskan apa yang dianggap tidak lurus dengan cara yang unik.

“Seperti apa keunikannya? Yaitu, dengan cara yang tidak saja menuntut kecerdasan pikiran, tetapi juga menuntut kecerdasan rasa. Ini keunikan dari sastra dan budaya, dan seni. Oleh karena itu, adalah tepat FIB menyelenggarakan penghargaan sastra dan seni nasional ini, meskipun dengan keterbatasan sarana fasilitas dan biaya, tetap saja dilaksanakan dengan semangat yang tinggi,” jelasnya.

Menurut Paripurna, penghargaan ini diberikan untuk memberi semangat dan melanggengkan sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman itu untuk terus berkarya. “Nilai-nilai keluhuran budi yang dilestarikan oleh para seniman dan sastrawan inilah yang membuat Indonesia terus yakin bisa mencapai tujuannya dengan kontribusi besar dari karya sastranya,” ungkapnya.

Dalam kesempatan tersebut, Sekjen PP KAGAMA AA  GN Ari Dwipayana, SIP, M. Si. menyampaikan bahwa KAGAMA tidak hanya ingin UGM dikenal sebagai Universitas yang ungul dalam bidang sains dan teknologi, tetapi juga menjadi Universitas yang terdepan dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur dengan ekspresi yang juga tidak kalah unggul.

Pihaknya melanjutkan, salah satu konsentrasi KAGAMA adalah mendorong kegiatan Nitilaku setiap bulan Desember sebagai ruang budaya. Menurut Ari, dengan memperbanyak ruang budaya, akan muncul banyak ekspresi yang beragam. “Maka kami ingin memperjuangkan satu nilai luhur dalam berbagai ekspresi kebudayaan, supaya kita bisa mengekspresikan keragaman dan perbedaan secara lebih terbuka,” ungkapnya.

Ari mencontohkan, ketika dirinya mulai kuliah, di UGM tidak hanya dikenal pakar-pakar bidang sains dan teknologi. Ia mencontohkan bahwa UGM punya begawan-begawan sastra yang bahkan punya reputasi internasional. “Pak Umar Kayam adalah tokoh yang luar biasa, dan menurut saya jejak-jejak atau apa yang beliau lakukan di masa lalu itulah yang bisa menjadi warisan dan kemudian menjadi pijakan kita untuk ke depan. Jadi, UGM itu nggak dikenal hanya dari teknologinya, atau bahkan Fisipol dan Hukumnya, tapi juga dikenal sebagai budayawan dan juga sastrawannya,” jelasnya.

Selain pembangunan ekonomi dan infrastruktur, lanjut Ari, pembangunan budaya tak boleh dilupakan. Sebagaimana program Presiden Joko Widodo, membangun Indonesia juga berarti membangun manusia Indonesia. “Untuk membangun manusia Indonesia tidak bisa hanya membangun raga saja, tapi juga jiwanya, pembangunan karakter. Saya kira seni dan sastra itu menyumbang dalam proses pembangunan manusia ini,” ungkapnya.

Di akhir sambutannya, Ari berharap bahwa KAGAMA akan terus mendukung penuh kegiatan-kegiatan UGM maupun civitas akademika UGM untuk memperbesar dan memperkuat lagi pusat-pusat kebudayaan. “Saya kira ke depan gedung PKKH harus jadi center baru. Kalau di selatan ada ISI, UGM juga punya pusat kegiatan yang menjadi magnet episentrum dari pusat-pusat kegiatan seni dan sastra,” pungkasnya. [TH]