19 Tahun Jadi Jurnalis, Alumnus Sosiologi UGM Ini Merasa Terbantu dengan Ilmunya Selama Kuliah

1196

Baca juga: Upaya Pemerintah Menjaga Ketahanan Pangan dari Hulu Hingga Hilir

Ketika itu, jurnalis laki-laki bisa bekerja selama 24 jam penuh. Sementara Luki, pernah bekerja selama 48 jam di awal-awal dia meniti karier.

Luki menilai perempuan dalam dunia jurnalistik masih menerima stigma. Setiap ada liputan di luar kota, katakanlah bencana tsunami, selalu saja jurnalis laki-laki yang ditugaskan.

Di situ, Luki mengajukan protes ke redakturnya. Beberapa kali dia mendapatkan berbagai pertanyaan yang arahnya meragukan kemampuan jurnalis perempuan.

“Menurut saya perempuan dan laki-laki punya kemampuan yang sama. Yang penting mau bekerja keras dan berani, jangan lupa untuk tetap inklusif,” jelasnya.

Setiap hari adalah tantangan bagi Luki. Namun, liputan yang paling menantang dan berkesan baginya yaitu ketika dia ditugaskan meliput konfilik di Aceh saat masa DOM.

Baca juga: Presiden Jokowi Fokus Lakukan Pemulihan Lingkungan di Tengah Pandemi Covid-19

“Setelah itu ada bencana tsunami. Meliput pra konflik kemudian bencana itu sebenarnya mengguncang jiwa wartawan. Itu sebenarnya membuat diri kita berubah,” ujarnya.

Setelah meliput dua peristiwa itu, Luki sampai harus meminta bantuan psikolog untuk mengembalikan dirinya yang sempat terganggu secara psikis.

“Karena memang tantangannya banyak. Kalau liputan kadang harus nempel tentara, kadang harus nempel GAM-nya juga. Tetapi, kita harus tetap objektif melihat persoalannya,” jelasnya.

Luki menuturkan, seorang wartawan selain harus objektif, mereka juga harus memberitakan sesuai fakta, termasuk yang dirasakan, yang dicium, dan yang di dengar harus tertuang di dalam tulisan.

“Belajar tidak hanya di kelas, membaca buku, atau diskusi. Tetapi, bisa di mana saja, ke mana saja, dan dengan siapa saja,” ujarnya.

Bagi mahasiswa yang ingin bekerja di banyak tempat, Luki menyarankan agar mereka memperbanyak kegiatan dari sekarang.

“Bangku kuliah saja itu nggak cukup. Harus ikut banyak kegiatan dan ketemu banyak orang. Ini justru membantu mahasiswa mempersiapkan masa depan,” tuturnya. (Kn/-Th)

Baca juga: Jebolan FEB UGM Ini Sebut Pembangunan Desa Penting untuk Kurangi Kemiskinan